Selamat datang di blog sederhana Nel@vie Online. Mengulas berbagai topik seputar Aceh, berita, wisata, adat, budaya, sejarah, galeri foto dan keindahan dalam sastra dan cerita. Kenali lebih dekat, telusuri lebih dalam, dan maknai dalam kehidupan. Semoga informasi yang tersedia dapat menambah wawasan pembaca.
Selamat Membaca!

Kamis, 01 November 2012

MBA Vs MBS

Oleh: Nela Vitriani

”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).” (QS. An Nur: 26)

Firman Allah swt. di atas merupakan ketentuan dan janji Allah akan pasangan hidup menurut apa dan bagaimana diri kita. Bila kita termasuk insan yang baik dan bertaqwa, maka Allah telah menjanjikan dan menjamin akan mempertemukan kita dengan pasangan hidup yang juga memiliki tingkat keimanan yang baik. Sebaliknya, bila diri kita termasuk dalam kategori jauh dari syariah, maka Allah pun menjanjikan pasangan hidup kita melalui jalan yang tidak syariah.

Menikah, siapa yang tidak mendambakan hal ini? Setiap insan di dunia mendambakan hal ini melalui jalan yang baik. Menikah dengan pasangan yang dicintai dengan setulus hati, mendapat restu dari keluarga masing-masing pihak, memperingati hari jadi (wedding ceremony) yang meriah, hingga akhirnya dapat hidup bersama dalam cinta, damai, dan melahirkan keturunan yang shalih dan shalihah. Namun apa dikata, ketika pasangan harus menikah karena sebuah sebab, yaitu kehamilan yang tidak dikehendaki atau hamil di luar nikah (married by accident)? Hamil di saat pasangan belum merencanakan untuk menikah, hamil di saat usia masih terlalu belia, hamil di saat belum ada kesiapan apa pun menerima kehadiran sang buah hati yang seharusnya melambangkan ikatan suci dari cinta sepasang kekasih.

Married by accident (MBA) menjadi citra yang memperburuk makna dari sebuah ‘pernikahan’. Menikah yang seharusnya menjadi wadah penyatuan dua keluarga, penyambung silaturrahim, dan penghasil keturunan yang baik, menjadi jauh dari ketentuan dan syariah yang telah ditetapkan oleh Sang Khalik. Hal yang berbalik harus dihadapi oleh pasangan yang menikah karena sebab kehamilan ini, menjadi bahan ejekan, cemooh, dan hinaan masyarakat di lingkungan mereka, bahkan menjadi dosa yang sangat besar bila dihadapkan pada ketentuan agama.

Banyak muda-mudi yang larut akan cinta, terlalu mengagungkan cinta secara berlebihan. Melakukan hubungan intim sebelum mereka halal, tanpa memahami dan menyadari resiko yang akan dihadapi. Hanya demi kepuasan dan kebahagiaan yang sesaat saja, namun fatal dan memiliki resiko yang berkepanjangan. Seorang remaja belia yang harus putus sekolah karena diketahui hamil di luar nikah, dijauhi oleh teman-teman seusianya, dijauhi oleh masyarakat di sekitarnya, bahkan dipandang buruk dan dianggap mencemarkan nama baik keluarga. Belum lagi ketika si jabang bayi dalam kandungannya harus menanggung beban psikologi yang berat ketika mengetahui kehadirannya ternyata bukanlah kehendak dari orang tuanya, sang ayah kandung yang tidak jelas keberadaannya karena tak ada tanggung jawab, ketika ia harus menanggung malu ketika istilah ‘anak haram’ melekat pada dirinya. Haruskah si jabang bayi yang tak berdosa itu menanggung beban yang sangat berat karena tingkah laku orang tuanya? Orang tua yang berbuat, tapi anaklah yang menanggung resikonya. Adilkah ini?

Belum lagi ketika perempuan menghadapi masa sulit ketika ia hamil di luar nikah sementara ia tak dapat berpikir dengan baik dan memilih jalan pintas menyelesaikan masalahnya. Ia belum siap untuk menikah dan tidak menginginkan si jabang bayi dalam kandungannya. Sang kekasih pun belum mau untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka jalan pintas satu-satunya bagi mereka adalah ‘aborsi’. Tidak mengertikah wahai insan Allah, bahwa jalan ini telah membawamu kepada dua dosa besar, yaitu melalukan hubungan yang tidak halal menjadi satu dosa, dan membunuh jabang bayi di dalam kandungan juga terhitung menjadi satu dosa. Banyak ulama telah memberikan pengertian mengenai aborsi, bahwa hal ini bisa pula membawa dampak buruk bagi kesehatan perempuan itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan kandungan. Ketika aborsi yang tidak memenuhi standar medis yang baik, menjadi pembawa penyakit dalam tubuh perempuan, ironisnya bila ia divonis tidak dapat hamil lagi. Apa yang bisa engkau lakukan wahai insan Allah, ketika engkau telah melakukan dua dosa besar, dan ketika engkau menikah tidak lagi bisa memperoleh keturunan? Inilah hal terburuk yang mungkin saja terjadi ketika ‘satu jalan’ yang baik telah engkau sia-siakan hanya demi kesenangan dan kepuasan sesaat.

Married by accident menghilangkan makna suci pernikahan yang bila dipandang secara agama hal tersebut menjadi haram. Diizinkan untuk menikah, tetapi dengan syarat pasangan yang menikah belum boleh hidup bersama atau melakukan hubungan suami istri hingga si anak lahir ke dunia. Dan ketika anak telah lahir, mereka kembali diwajibkan mengucapkan ‘ijab dan qabul’ untuk kedua kalinya, pertanda bahwa mereka telah halal menurut agama. Namun fenomena yang terjadi malah sebaliknya. Menikah sebab hamil di luar nikah, hanya untuk menutupi aib keluarga. Masyarakat dan lingkungan tidak ada yang tahu bahwa si calon pengantin telah lebih dulu hamil. Dan ketika mereka menikah, kehidupan pernikahan ditampakkan seolah-olah dalam keadaan ‘normal’, bahwa kehamilan itu menjadi wajar karena mereka sudah menikah. Sedangkan dalam ketentuan syariah, hal seperti itu termasuk zina. Artinya mereka berzina hingga akhir hayatnya, tanpa ikatan yang dihalalkan di hadapan Allah swt. Nauzubillahiminzalik. 

Seperti yang disebutkan dalam Al-quran Surah An-Nur ayat 26 di atas, pasangan hidup yang baik menjadi jaminan ketika akhlak dan tingkah laku kita juga baik. Cara-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Melalui cara-cara yang mulia, dapat menjadi panutan dalam memilih pasangan hidup yang tentu saja akan membawa kita menuju keluarga yang baik dan harmonis. Apabila kita belum siap untuk menikah, Rasulullah saw. menyarankan kita untuk berpuasa, menahan gejolak nafsu dan menjaga keimanan. Sehingga makna ‘menikah’ tetap menjadi suci dalam ikrar yang disyariahkan dalam agama (married by syariah). Dengan kata lain, kita dihadapkan hanya pada dua pilihan: MBS (married by syariah) yang membawa kita menuju jannah (surga), atau MBA (married by accident) yang membawa kita menuju neraka. Hanya kita sendirilah yang menentukannya!

(Tulisan ini dimuat di Majalah POTRET edisi 63 halaman 16-17, Desember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar