Oleh: Nela Vitriani
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki
yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula),
dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rizki yang mulia (surga).” (QS. An Nur: 26)
Firman Allah swt. di atas merupakan ketentuan dan janji Allah
akan pasangan hidup menurut apa dan bagaimana diri kita. Bila kita termasuk
insan yang baik dan bertaqwa, maka Allah telah menjanjikan dan menjamin akan
mempertemukan kita dengan pasangan hidup yang juga memiliki tingkat keimanan
yang baik. Sebaliknya, bila diri kita termasuk dalam kategori jauh dari
syariah, maka Allah pun menjanjikan pasangan hidup kita melalui jalan yang
tidak syariah.
Menikah, siapa yang tidak mendambakan hal ini? Setiap insan
di dunia mendambakan hal ini melalui jalan yang baik. Menikah dengan pasangan
yang dicintai dengan setulus hati, mendapat restu dari keluarga masing-masing
pihak, memperingati hari jadi (wedding
ceremony) yang meriah, hingga akhirnya dapat hidup bersama dalam cinta,
damai, dan melahirkan keturunan yang shalih dan shalihah. Namun apa dikata,
ketika pasangan harus menikah karena sebuah sebab, yaitu kehamilan yang tidak
dikehendaki atau hamil di luar nikah (married
by accident)? Hamil di saat pasangan belum merencanakan untuk menikah, hamil
di saat usia masih terlalu belia, hamil di saat belum ada kesiapan apa pun
menerima kehadiran sang buah hati yang seharusnya melambangkan ikatan suci dari
cinta sepasang kekasih.
Married by accident
(MBA) menjadi citra yang memperburuk makna dari sebuah ‘pernikahan’. Menikah yang
seharusnya menjadi wadah penyatuan dua keluarga, penyambung silaturrahim, dan
penghasil keturunan yang baik, menjadi jauh dari ketentuan dan syariah yang
telah ditetapkan oleh Sang Khalik. Hal yang berbalik harus dihadapi oleh
pasangan yang menikah karena sebab kehamilan ini, menjadi bahan ejekan, cemooh,
dan hinaan masyarakat di lingkungan mereka, bahkan menjadi dosa yang sangat
besar bila dihadapkan pada ketentuan agama.
Banyak muda-mudi yang larut akan cinta, terlalu mengagungkan cinta
secara berlebihan. Melakukan hubungan intim sebelum mereka halal, tanpa
memahami dan menyadari resiko yang akan dihadapi. Hanya demi kepuasan dan
kebahagiaan yang sesaat saja, namun fatal dan memiliki resiko yang
berkepanjangan. Seorang remaja belia yang harus putus sekolah karena diketahui
hamil di luar nikah, dijauhi oleh teman-teman seusianya, dijauhi oleh
masyarakat di sekitarnya, bahkan dipandang buruk dan dianggap mencemarkan nama
baik keluarga. Belum lagi ketika si jabang bayi dalam kandungannya harus menanggung
beban psikologi yang berat ketika mengetahui kehadirannya ternyata bukanlah
kehendak dari orang tuanya, sang ayah kandung yang tidak jelas keberadaannya
karena tak ada tanggung jawab, ketika ia harus menanggung malu ketika istilah
‘anak haram’ melekat pada dirinya. Haruskah si jabang bayi yang tak berdosa itu
menanggung beban yang sangat berat karena tingkah laku orang tuanya? Orang tua
yang berbuat, tapi anaklah yang menanggung resikonya. Adilkah ini?
Belum lagi ketika perempuan menghadapi masa sulit ketika ia
hamil di luar nikah sementara ia tak dapat berpikir dengan baik dan memilih
jalan pintas menyelesaikan masalahnya. Ia belum siap untuk menikah dan tidak
menginginkan si jabang bayi dalam kandungannya. Sang kekasih pun belum mau
untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Maka jalan pintas satu-satunya bagi
mereka adalah ‘aborsi’. Tidak mengertikah wahai insan Allah, bahwa jalan ini
telah membawamu kepada dua dosa besar, yaitu melalukan hubungan yang tidak
halal menjadi satu dosa, dan membunuh jabang bayi di dalam kandungan juga
terhitung menjadi satu dosa. Banyak ulama telah memberikan pengertian mengenai
aborsi, bahwa hal ini bisa pula membawa dampak buruk bagi kesehatan perempuan
itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan kandungan. Ketika aborsi yang
tidak memenuhi standar medis yang baik, menjadi pembawa penyakit dalam tubuh
perempuan, ironisnya bila ia divonis tidak dapat hamil lagi. Apa yang bisa
engkau lakukan wahai insan Allah, ketika engkau telah melakukan dua dosa besar,
dan ketika engkau menikah tidak lagi bisa memperoleh keturunan? Inilah hal
terburuk yang mungkin saja terjadi ketika ‘satu jalan’ yang baik telah engkau sia-siakan
hanya demi kesenangan dan kepuasan sesaat.
Married by accident
menghilangkan makna suci pernikahan yang bila dipandang secara agama hal
tersebut menjadi haram. Diizinkan untuk menikah, tetapi dengan syarat pasangan
yang menikah belum boleh hidup bersama atau melakukan hubungan suami istri
hingga si anak lahir ke dunia. Dan ketika anak telah lahir, mereka kembali
diwajibkan mengucapkan ‘ijab dan qabul’ untuk kedua kalinya, pertanda bahwa
mereka telah halal menurut agama. Namun fenomena yang terjadi malah sebaliknya.
Menikah sebab hamil di luar nikah, hanya untuk menutupi aib keluarga.
Masyarakat dan lingkungan tidak ada yang tahu bahwa si calon pengantin telah
lebih dulu hamil. Dan ketika mereka menikah, kehidupan pernikahan ditampakkan
seolah-olah dalam keadaan ‘normal’, bahwa kehamilan itu menjadi wajar karena
mereka sudah menikah. Sedangkan dalam ketentuan syariah, hal seperti itu
termasuk zina. Artinya mereka berzina hingga akhir hayatnya, tanpa ikatan yang
dihalalkan di hadapan Allah swt. Nauzubillahiminzalik.
Seperti
yang disebutkan dalam Al-quran Surah An-Nur ayat 26 di atas, pasangan hidup
yang baik menjadi jaminan ketika akhlak dan tingkah laku kita juga baik.
Cara-cara yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Melalui cara-cara yang
mulia, dapat menjadi panutan dalam memilih pasangan hidup yang tentu saja akan
membawa kita menuju keluarga yang baik dan harmonis. Apabila kita belum siap
untuk menikah, Rasulullah saw. menyarankan kita untuk berpuasa, menahan gejolak
nafsu dan menjaga keimanan. Sehingga makna ‘menikah’ tetap menjadi suci dalam
ikrar yang disyariahkan dalam agama (married
by syariah). Dengan kata lain, kita dihadapkan hanya pada dua pilihan: MBS
(married by syariah) yang membawa
kita menuju jannah (surga), atau MBA (married
by accident) yang membawa kita menuju neraka. Hanya kita sendirilah yang
menentukannya!
(Tulisan ini dimuat di Majalah POTRET edisi 63 halaman 16-17, Desember 2012)
(Tulisan ini dimuat di Majalah POTRET edisi 63 halaman 16-17, Desember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar