Selamat datang di blog sederhana Nel@vie Online. Mengulas berbagai topik seputar Aceh, berita, wisata, adat, budaya, sejarah, galeri foto dan keindahan dalam sastra dan cerita. Kenali lebih dekat, telusuri lebih dalam, dan maknai dalam kehidupan. Semoga informasi yang tersedia dapat menambah wawasan pembaca.
Selamat Membaca!

Minggu, 18 September 2011

Cerita Sang Puteri Pahang


    (Putroe Phang)

Objek wisata Taman Putroe Phang
Saat saya mengunjungi objek wisata taman Putroe Phang yang berada di tengah kota Banda Aceh yang juga berdekatan dengan Gunongan (yaitu tempat mandinya sang Puteri yang berasal dari Pahang), sangat memancing rasa penasaran saya mengenai cerita tentang sang puteri ini. Puteri yang berasal dari tanah Melayu yang mampu memikat hati Sultan Aceh yang termasyur yaitu Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam yang memerintah pada tahun 1016-1045 H (1607-1636 M). Dari peninggalan sejarah yang ada, betapa megahnya Aceh pada masa itu. Gunongan yang sengaja dibangun oleh Sultan Iskandar Muda yang melambangkan wujud cintanya kepada Putroe Phang, yang hingga kini pun bangunan tersebut masih dapat dilihat dan dinikmati oleh masyarakat Aceh maupun wisatawan yang berkunjung ke objek wisata ini. Bagaimanakah ceritanya dan bagaimana pula bermula seorang puteri yang berasal dari negeri Pahang dapat menetap di Aceh sekaligus dipersunting oleh seorang Sultan Aceh yang cukup terkenal pada masa itu? Darimanakah kisah cinta itu berawal? Sungguh sangat membuat saya penasaran ketika menelusuri situs sejarah Gunongan tersebut. Namun, rasa penasaran itu sedikit terbayar ketika saya membaca sebuah hikayat yang menceritakan tentang kehadiran sang puteri ke tanah Aceh yang saat itu berada di bawah kekuasaan Sultan Aceh yang bijaksana. Hikayat tersebut terkenal dengan sebutan Hikayat Maleem Dagang yang merupakan sebuah karya sastra Melayu-Aceh yang sangat terkenal. Hiyakat ini diceritakan kembali oleh A. Hasjmy dalam kisah Puteri Pahang Dalam Hikayat Maleem Dagang (Armada Cakra Donya Mara ke Malaka). Berikut kisahnya:

Ilustrasi Istana Sultan Iskandar Muda Aceh
Bermula dari kisah dua raja bersaudara di Semenanjung Tanah Melayu, bernama Raja Raden dan Raja Si Ujud. Keduanya masih belum memeluk Islam. Kedua raja tersebut berselisih karena memperebutkan seorang puteri cantik yang bernama Puteri Pahang -yang sebenarnya bernama asli Puteri Kamaliah yang berasal dari Pahang, Malaysia- yang ketika berada di Tanah Aceh dikenal dengan nama Putroe Phang. Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, kedua raja itu sepakat untuk berangkat ke Tanah Aceh dan menyerahkan perkaranya kepada Sultan Aceh, karena telah luas tersiar kabar bahwa di sana sedang memerintah seorang raja yang sangat adil dan bijaksana, bernama Sultan Iskandar Muda.
Raja Raden bersama Puteri Pahang (Putroe Phang) berangkat terlebih dahulu. Sesampainya di Banda Aceh, mereka memohon agar Sultan Iskandar Muda meng-islam-kan (mengsyahadatkan) keduanya. Setelah mereka masuk Islam, Puteri Pahang menyerahkan dirinya kepada Iskandar Muda untuk dijadikan permaisuri, dan kemudian Raja Raden dinikahkan dengan adik Iskandar Muda.
Raja Raden kemudian diberi kedudukan yang layak dalam kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Puteri Pahang telah menjadi permaisuri penghuni Istana Darud Dunia di ibukota kerajaan, Banda Aceh, karena permaisuri pertama Sultan Iskandar Muda yang bernama Puteri Sani Sendi Istanan telah wafat.
Tak seberapa lama kemudian, datanglah Raja Si Ujud ke Banda Aceh dan didapatinya Raja Raden dan Puteri Pahang telah memeluk Islam, bahkan yang lebih membuatnya murka yaitu Puteri Pahang telah menjadi permaisuri Iskandar Muda. Akibat dari kemarahannya yang sangat memuncak, Raja Si Ujud mulai melakukan pengacauan di Banda Aceh, seperti merampok, membunuh, memperkosa, dan membakar rumah-rumah rakyat. Setelah puas melalukan pengacauan di daratan, Raja Si Ujud bersama tentaranya kembali ke armadanya dan dalam pelayaran menuju markas besarnya di Goa (pusat kekuasaan penjajah Portugis di daerah India), ia menyerbu pantai-pantai tanah Aceh sepanjang Selat Malaka dan membajak kapal-kapal niaga Aceh yang didapatinya.
Perampokan dan pengacauan yang dilakukan oleh Raja Si Ujud sangat memancing kemarahan Sultan Iskandar Muda, Raja Raden, dan juga Puteri Pahang. Kemarahan dan ketekadan Iskandar Muda untuk memerangi Raja Si Ujud, dikuatkan oleh Raja Raden dan Puteri Pahang yang juga merasa aib oleh perbuatan keji Raja Si Ujud. Untuk keperluan pengejaran Raja Si Ujud, Sultan Iskandar Muda mengadakan persiapan-persiapan, antara lain pembuatan kapal-kapal perang baru, dan pembentukan pasukan-pasukan khusus.

Mesjid Raya Baiturrahman pada masa Sultan Iskandar Muda
Ada sebuah kisah menarik terjadi pada masa persiapan gegap gempita yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda pada waktu itu. Terjadi satu ‘peristiwa perlambang’ yang memerlukan kesungguhan untuk memahaminya. Dikisahkan, terdamparnya sebuah pohon kayu raksasa di pantai Kuala Aceh yang bentuk dan besarnya tidak pernah dijumpai di hutan belantara Aceh. Kepada Sultan Iskandar Muda kayu raksasa itu menceritakan bahwa dia adalah kayu dari “tanah seberang” yang telah dipotong oleh pasukan Raja Si Ujud untuk bahan pembuatan kapal perang yang akan digunakan untuk menaklukkan Aceh, dan “raja kafir” itu pun sedang mengadakan persiapan-persiapan raksasa untuk mara ke Aceh. Konon berdasarkan kisah, pohon kayu raksasa itu tidak rela dirinya digunakan oleh Raja Si Ujud untuk menaklukkan Aceh yang telah memeluk Islam. Karena itu, ia pergi ke Aceh dan memohon kepada Sultan Iskandar Muda untuk menjadikannya sebagai bahan utama pembuatan sebuah kapal raksasa.
Anjuran “Jin Islam” yang menjadi ‘juru bicara’ pohon raksasa itu diterima Sultan, dan dalam waktu yang relatif singkat, menjelmalah pohon raksasa itu menjadi sebuah kapal perang raksasa yang diberi nama Cakra Donya, hatta Armada Aceh yang berangkat ke Tanah seberang untuk mengejar Raja Si Ujud yang dinamakan Armada Cakra Donya.
Ketika Sultan Iskanda Muda hendak berlayar dengan Armada Cakra Donya, terjadilah dialog yang mengharukan antara Sultan dan Puteri Pahang. Dalam dialog tersebut, Puteri Pahang meminta kepada Sultan agar ia dapat ikut serta dalam pencarian Raja Si Ujud, namun Sultan merasa keberatan. Sultan Iskandar Muda memintanya untuk tetap tinggal di Istana Darud Donya.
Setelah berdialog lama, yang kadang-kadang sangat romantis, Puteri Pahang menitipkan pesan yang amat berkesan. Puteri Pahang meminta agar Sultan Iskandar Muda mengejar Raja Si Ujud  sampai dapat dan dibawa ke Aceh, hidup atau mati. Bila Sultan tidak dapat menemukannya di Johor, maka Raja si Ujud harus dikejar sampai ke Pahang. Kalau di Pahang juga tidak ada, maka harus dicari sampai ke Melaka. Bila di Melaka atau tempat lain di Semenanjung Tanah Melayu juga tidak ada, maka haruslah dikejar sampai ke “Goa” (yaitu pusat kekuatan dan kekuasaan Portugis di daerah India). Demikianlah pesan Puteri Pahang.
Sekali lagi terjadi dialog antara Puteri Pahang dan Sultan Iskandar Muda yang sangat mengharukan ketika Sultan akan berlayar. Yaitu ketika Puteri Pahang tidak diizinkan melepaskannya di Kuala Aceh, pangkalan Armada Cakra Donya, hanya cukup melepaskannya di gerbang luar Istana Darud Donya. Hal ini dikarenakan Sultan Iskandar Muda tidak ingin dilepaskan dengan air mata ketika ia menaiki kapal. Bahkan tidak seorangpun para isteri atau tunangan hadir di Kuala Aceh.
Di gerbang luar Istana Darud Donya, Puteri Pahang melepaskan Sultan Iskandar Muda dengan pesan-pesan yang amat mengesankan. Pesan-pesan yang disampaikannya berbunyi:

“Harap Tuanku waspada,
Dalam pelayaran melintasi Selat Malaka,
Akan Tuanku hadapi tiga bahaya,
Yang pertama gelombang besar,
Bahaya kedua di Asahan,
Tuanku dihadang Raja Muda,
Yang ketiga bahaya di Banang,
Tiga Aulia bermakam di sana,
Karena itu Tuanku,
Banang jangan dihancurkan”.

Dalam dialog terakhir ini, Puteri Pahang juga memperingatkan agar Sultan Iskandar Muda haruslah sangat berhati-hati dan bijaksana dalam mengangkat Panglima Armada Cakra Donya. Ketika salam pamitan, Puteri Pahang pun berucap haru:

“Kalau jadi Tuanku berangkat,
Tinggal di mana puteri yang hina,
Demi Allah, Tuanku jangan pergi,
Sebelum pasti kami tinggal dimana”.

“Ampun Tuanku Duli Syah Alam,
Kupegang di tangan, berangkat jangan,
Kalau Tuanku menempuh daratan,
Musuh datang lewat lautan,
Puteri ditawan di istana…”

Dengan pasti Sultan Iskandar Muda pun menjawab:

“Sungguhpun demikian, Tuan Puteri,
Dengarlah peri madah beta,
Adinda kuserahkan kepada Allah,
Tuhan pencipta kita semua…”

Puteri Pahang kembali menjawab:

“Kalau kepada Allah kami diserahkan,
Tuanku kulepaskan dengan doa,
Berangkatlah, Tuanku, dengan selamat,
Semoga Allah memberi syuf’at…”

Demikianlah dialog perpisahan romantis yang terjadi ketika Sultan Iskandar Muda hendak berangkat bersama Armada Cakra Donya untuk memerangi Raja Si Ujud.

Aceh Masa Lampau - Kerajaan Sultan Iskandar Muda
Dalam pelayaran menuju Melaka, Iskandar Muda dengan beberapa pewira tingginya mendarat di Pidie. Dari sanalah menempuh jalan darat menuju Kuala Jambo Aer, pangkalan Armada Selat Melaka. Dalam perjalan dari Pidie menuju Jambo Aer, ikut bersama Iskandar Muda pasukan-pasukan pilihan dari Pidie, Meurdu, Samalanga, Jeumpa, Geulumpang Dua, dan sebagainya. Salah seorang yang terpenting dari Pidie, yaitu panglima Pidie, merupakan seorang perwira muda yang sangat berani tetapi kurang perhitungan. Dari Meurdu, ikut seorang ulama besar yang berasal dari Madinah, yang bernama Ja Pakeh. Beliau seorang perwira tinggi dari Angkatan Perang Turki Usmaniyah yang datang ke Aceh dalam rangka kerjasama antara Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaaan Turki Usmaniyah. Ja Pakeh diangkat menjadi penasehat untuk Armada Cakra Donya. Selain Ja Pakeh, seorang Laksamana Muda yang berasal dari Meurdu juga ikut bersama Armada Cakra Donya, yaitu bernama Maleem Dagang.
Sesampainya Iskandar Muda dan rombongan di Kuala Jambo Aer, pangkalan Armada Selat Malaka, diadakan musyawarah penting untuk mengangkat Panglima Armada Cakra Donya. Dua calon ditampilkan, yaitu Panglima Pidie, seorang perwira tinggi Angkatan Darat, dan Laksamana Malem Dagang, seorang perwira tinggi Angkatan Laut. Dengan nasehat dari Ja Pakeh, maka Iskandar Muda mengangkat Maleem Dagang menjadi Panglima Armada Cakra Donya, karena ia di samping memiliki sifat-sifat yang berani, juga mempunyai sifat arif bijaksana.
Dalam perjalanan dari Jambo Aer menuju Asahan, Armada Cakra Donya dihadang gelombang dan taufan dahsyat, meski demikian Cakra Donya berhasil selamat sampai di Kuasa Asahan. Lepas dari gelombang besar tersebut, Iskandar Muda dihadang oleh Raja Muda, Raja Negeri Asahan (yang menurut Hikayat Maleem Dagang masih ‘kafir’, belum islam). Berkat kebijaksanaan Laksamana Maleem Dagang dan keberanian Panglima Pidie, Asahan dapat ditaklukkan, dan sejumlah puteri istana –termasuk Permaisuri Raja Muda-, ditawan. Setelah Raja Muda bersama seluruh rakyatnya menyatakan masuk islam, maka semua tawanan dibebaskan. Bahkan Raja Muda diangkat menjadi Sultan Asahan di bawah perlindungan Aceh.
Sesuai wasiat Puteri Pahang, Banang tidak dihancurkan, karena menghormati dua Aulia Allah yang bermakam di sana. Raja dan rakyat Banang menerima Iskandar Muda dengan rasa persaudaraan, karena mereka memang telah memeluk islam.
Dari Banang, Armada Cakra Donya menuju Johor, di mana raja dan rakyat Johor menerima Iskandar Muda dengan sikap permusuhan. Dari sinilah peperangan dimulai hingga akhirnya Raja Si Ujud ditemukan dan berhasil dikalahkan oleh Armada Cakra Donya. Raja Si Ujud ditawan dan dibawa ke Aceh untuk akhirnya dihukum mati oleh Sultan Iskandar Muda.
(Cerita ini berdasarkan Hikayat Maleem Dagang yang diceritakan kembali oleh A. Hasjmy -yang dikutip dari Wan Shamsuddin dan Arena Wati dalam buku Sejarah Tanah Melayu dan Sekitarnya- yang dikutip dari buku Seulawah Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas yang diterbitkan oleh Yayasan Nusantara pada tahun 1995)


Dalam kisah lain, konon Puteri Pahang pernah merasa bosan tinggal di Tanah Aceh dan ingin kembali ke negeri asalnya yaitu Pahang. Namun, Sultan Iskandar Muda tidak mengijinkan Puteri Pahang untuk meninggalkan Aceh. Sebagai gantinya, Sultan Iskandar Muda membangun sebuah Gunongan  -yang menjadi tempat bermain puteri setelah mandi atau membersihkan diri di Krueng Daroy- yang dapat mengingatkan Puteri Pahang akan negeri asalnya yang terdiri dari gunung-gunung. Hingga kini, bangunan itu masih kokoh berdiri sebagai salah satu situs sejarah yang ada di kota Banda Aceh (Nelvie/2011).

4 komentar:

  1. Ulasan yang menarik dan bermanfaat.
    Mungkin kalau boleh menyarankan jangan terlalu banyak merujuk ke Karangan Ali Hasymi, banyak pernyataan beliau yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.

    Ada banyak buku yang telah ditulis mengenai Kerajaan Aceh Darussalam yang kini banyak terdapat di Pustaka Laiden Belanda, beberapa diantaranya bisa di akses di http://ebookgratis-musgp.blogspot.com/2009/06/aceh-dalam-sejarah-ebook-tentang-aceh.html
    Semoga membatu....

    BalasHapus
  2. assalamualaikum nela,

    boleh tau ga, lukisan2 itu sumbernya darimana ya? soalnya saya juga sering nyari2 ilustrasi istana aceh tapi belum pernah ketemu gambar seperti itu. terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wa'alaikumsalam Syahrul...

      Lukisan itu saya dapat dari Museum Tsunami melalui foto dan sedikit editan foto.
      Kebetulan ada di pajang di antara pameran lukisan yang dipajang di gallery museum. ^_^

      Hapus