Menjadi wisatawan di suatu daerah, siapa saja bisa. Mengunjungi dan
menikmati objek-objek wisata seakan menjadi kebutuhan setelah penat
beraktivitas dan kesempatan berkumpul bersama keluarga maupun teman. Ketika
program pemerintah Aceh, Visit Aceh 2013 digalakkan, banyak wisatawan lokal,
nasional, maupun internasional datang ke Aceh untuk menikmati setiap objek yang
disajikan dalam promosi wisata tersebut. Namun jarang sekali ditemui wisatawan
yang pintar. Artinya, wisatawan pintar
mau menjaga dan memelihara objek wisata tempat ia kunjungi tanpa merusak atau
mengubah sesuatu yang ada di tempat tersebut. Hal ini sering terjadi khususnya
pada wisatawan atau pengunjung lokal akibat hasrat ‘keingintahuan’ yang
berlebihan.
Sebagai contoh, salah satu lokasi wisata yang terdapat di Kota Banda Aceh
yang kini menjadi ikon dan kebanggan masyarakat Aceh, yaitu Museum Tsunami. Museum
dengan desain elegan dan unik karya Ridwan Kamil ini, berdiri kokoh dan menjadi
bangunan yang mampu ‘mencuri’ pandangan setiap pejalan yang melewati gedung
megah ini. Museum yang terletak di Jl. Sultan Iskandar Muda tepatnya di depan
Lapangan Blang Padang Banda Aceh, dibangun pada tahun 2007 dan dibuka untuk
umum pada tahun 2011 dengan jumlah pengunjung pada awal dibuka mencapai 218.469 orang.
Pada tahun selanjutnya, museum ini terus saja memperoleh peningkatan
angka kunjungan yang mencapai 381.887 orang, tak hanya wisatawan lokal yang
mengunjungi objek wisata ini, melainkan wisatawan asing, seperti Malaysia,
Jepang, Korea, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Spanyol, dan
lain-lain. Museum yang dikunjungi tak kurang dari 200 orang per hari, dan 1000
hingga 2000 orang setiap akhir pekannya,
menjadikan museum ini sebagai lokasi wisata yang wajib dikunjungi oleh
wisatawan dari berbagai daerah dan negara. Bahkan pada awal dibuka setelah
lebaran Idul Fitri 1434 H (13/8/13) lalu, wisatawan yang berkunjung mencapai
4.184 orang dalam sehari.
Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana menjadi wisatawan pintar? Wisatawan
atau pengunjung, atau dalam istilah lain disebut pelancong, adalah orang yang datang ke suatu objek wisata dengan
tujuan; pertama, hanya sekedar
rekreasi atau menikmati objek wisata yang ada di suatu daerah, dan kedua, untuk
memperoleh pengetahuan (edukasi) tentang objek yang ia kunjungi. Siapa saja
yang ingin berekreasi, baik secara personal, bersama teman atau keluarga,
hendaknya juga memiliki rasa ‘tanggung-jawab’ terhadap lokasi yang ia kunjungi.
Misalnya, menjaga kebersihan lokasi dengan tidak membuang sampah sembarangan,
memelihara lokasi wisata dengan tidak mengubah benda-benda yang ada, dan
menjaga lokasi atau benda-benda yang ada di tempat wisata agar tetap seperti
apa adanya dengan tidak memindahkan, merusak, atau bahkan menghancurkannya.
Sungguh disayangkan bila terlalu banyak wisatawan yang ‘bertangan jahil’ merusak benda-benda
bersejarah atau hasil karya seniman yang mungkin harganya tak ternilai seperti
yang terdapat di Museum Tsunami Aceh. Banyak karya ‘pajangan’ yang kini sudah
tidak lagi seperti bentuk aslinya bahkan ada yang dirusak oleh wisatawan. Foto-foto
berikut ini menunjukkan betapa wisatawan lokal memiliki ‘keingintahuan’ yang
terlalu berlebihan sehingga mengakibatkan benda-benda yang ada di museum menjadi
rusak dengan adanya ‘tangan-tangan jahil’ yang ingin menyentuh, memegang,
bahkan mengambil hasil karya yang terpajang di Museum Tsunami Aceh.
Miniatur
menara Mesid Raya Baiturrahman di salah satu alat peraga Museum Tsunami yang
terdapat di dalam Diorama Bentang Alam Sebelum dan Setelah Tsunami ‘hilang’.
Menara ini diambil oleh pengunjung yang berwisata ke Museum Tsunami Aceh.
Tiang miniatur Kapal PLTD Apung yang terdapat di Ruang Pamer Tsunami
pun turut dirusak oleh pengunjung yang berwisata ke museum.
Bahkan
kerusakan yang lebih ‘ekstrim’ terdapat di dalam diorama Situasi Setelah Gempa
di Ruang Pamer Tsunami. Miniatur pohon ‘dicopot’ dan ‘dirusak’ oleh wisatawan.
Kerusakan yang terjadi di beberapa alat peraga Museum Tsunami bervariasi,
seperti benda yang patah, copot, pecah, atau hancur. Namun selain dirusak
secara sengaja oleh wisatawan, terdapat pula benda-benda yang berubah posisi
atau berpindah bahkan hilang. Selain benda-benda dalam alat peraga yang menjadi
‘sasaran’ wisatawan nakal, sampah seperti bungkus permen, tisu, kertas,
bungkusan makanan, bahkan permen karet pun pernah dibuang ke dalam alat peraga.
Rumah-rumahan dirusak dan dihancurkan oleh wisatawan, sampah dibuang ke
dalam alat peraga Museum Tsunami Aceh.
Orang-orangan
di dalam Diorama Kapal di Atas Rumah Lampulo pun dirusak oleh wisatawan.
Kebiasaan untuk menyentuh, memegang, mengambil, atau bahkan sekedar iseng untuk merusak benda-benda hasil
karya yang terpajang di Museum Tsunami Aceh dengan alasan ‘sekedar ingin tahu’
bagaimana wujud benda tersebut, bagaimana rasanya bila disentuh, dan
sebagainya, cenderung lebih sering dilakukan oleh wisatawan lokal. Namun, kebiasaan
ini jarang dilakukan oleh wisatawan manca negara. Para wisatawan asing lebih
dapat menghargai karya ataupun benda-benda yang ada di sebuah objek wisata dan
lebih peduli untuk ikut menjaga keaslian objek wisata yang ada. Ini yang
disebut sikap ‘menghargai’ yang seharusnya ditiru oleh wisatawan lokal Aceh
khususnya dan Indonesia pada umumnya. Walau tidak semua pengunjung lokal
mempunyai kebiasaan yang sama, akan tetapi dapat dikatakan jumlahya masih
sangat sedikit untuk menjadi ‘wisatawan pintar’. Tak hanya benda-benda
bersejarah atau karya menjadi aset sebuah objek wisata, kesadaran menjaga
kebersihan seperti sampah pun menjadi kebiasaan buruk wisatawan lokal yang
berkunjung ke Museum Tsunami Aceh.
Wisatawan
asing cenderung ‘menghargai’ karya,
seperti ketika meilhat lukisan di Museum Tsunami Aceh. Wisatawan lokal senang
‘menyentuh’ atau ‘memegang’ lukisan yang terpajang di museum sebagai bentuk
‘keingintahuan’ yang besar. Padahal kebiasaan tersebut dapat merusak karya
cipta seniman Aceh yang dipamerkan di Museum Tsunami.
Lalu apakah semua benda-benda yang ada di Museum Tsunami Aceh tidak boleh
dipegang ataupun disentuh? Jawabannya, tidak semua benda dilarang untuk disentuh.
Di ruang khusus seperti Ruang Geologi dan Ruang Simulasi, terdapat benda-benda
edukasi yang diperbolehkan untuk
disentuh atau dipegang, bergantung pada jenis alat peraga. Alat Simulator
Evakuasi Tsunami misalnya, alat ini justru disediakan bagi pengunjung untuk
dapat berinteraksi secara langsung guna mempelajari simulasi gempa dan tsunami
seperti tragedi yang pernah melanda Aceh kurang lebih sembilan tahun silam.
Pengunjung dapat menyentuh layar dan memilih sendiri keputusan penyelamatan
atau evakuasi seandainya mereka dihadapkan dengan bencana yang serupa, dan memperoleh
informasi serta prediksi waktu dan keadaan selama bencana berlangsung.
Simulator
Evakuasi Tsunami di Ruang Pamer Geologi dapat digunakan oleh wisatawan sebagai
media interaktif dan edukasi.
Begitu pula dengan alat-alat simulasi lainnya yang juga dapat disentuh
oleh pengunjung agar dapat memperoleh pembelajaran dari alat peraga yang
dipamerkan. Hanya benda-benda dengan peringatan khusus yang tidak dapat
disentuh oleh pengunjung dan biasanya tertera di dalam ruangan atau benda-benda
tertentu.
Alat
peraga di Ruang Simulasi Museum Tsunami dapat diakses oleh wisatwan sebagai
media interaktif edukasi.
Namun parahnya, alat-alat yang disediakan bagi pengujung sebagai media
interaktif pun menjadi ‘sasaran’ wisatawan nakal. Alat Simulator Evakuasi
pernah diotak-atik oleh pengunjung
hingga program yang tersedia menjadi error.
Harapannya, alat seperti ini dapat memberikan edukasi dan informasi kepada
masyarakat sebagai sarana pendidikan kebencanaan, bukan malah menjadi ‘bahan
mainan’ bagi wisatawan nakal. Sehingga alat ini dapat terus difungsikan dan
digunakan oleh wisatawan lainnya sebagai pembelajaran kesiapsiagaan bencana di
masa yang akan datang.
Apa manfaatnya menjadi wisatawan pintar? Menjadi wisatawan pintar berarti
secara tidak langsung ikut membantu memelihara dan melestarikan objek wisata
atau aset daerah. Menjadi wisatawan pintar artinya juga menjaga harta benda
peninggalan atau karya anak bangsa agar tetap dapat dinikmati dan dipamerkan
dalam jangka waktu yang lama, bahkan sampai anak cucu atau generasi kita
berikutnya. Inilah manfaat kita menjadi wisatawan yang pintar. Bila karya atau
benda-benda bersejarah rusak akibat ulah ‘tangan-tangan jahil’ kita, apalagi
yang dapat dinikmati oleh generasi yang
akan datang sebagai bentuk pembelajaran bagi mereka melalui media yang ada di
Museum Tsunami Aceh sebagai sarana edukasi kebencanaan dan sejarah tragedi maha
dahsyat yang pernah melanda Aceh pada tahun 2004 silam yang merenggut lebih kurang
240.000 jiwa.
Memelihara dan menjaga aset daerah ini tidak hanya menjadi tugas
pengelola museum Tsunami Aceh, tetapi ini merupakan tugas bersama demi menjaga
dan melestarikan objek wisata sejarah dan karya-karya anak bangsa. Mari kita
menjadi wisatawan pintar yang tidak hanya saat berkunjung ke Museum Tsunami
Aceh tetapi juga saat kita berkunjung ke setiap objek wisata lainnya yang ada
di seluruh nusantara!
perlu ada kesadaran dari pengunjung wisatawan :(
BalasHapusWah ga bener nih..harusnya dijaga..bukan dirusak
BalasHapussemoga tempat wisata indonesia bisa maju