Selamat datang di blog sederhana Nel@vie Online. Mengulas berbagai topik seputar Aceh, berita, wisata, adat, budaya, sejarah, galeri foto dan keindahan dalam sastra dan cerita. Kenali lebih dekat, telusuri lebih dalam, dan maknai dalam kehidupan. Semoga informasi yang tersedia dapat menambah wawasan pembaca.
Selamat Membaca!

Minggu, 15 September 2013

Wisatawan Rusak Aset Museum Tsunami

Oleh: Nela Vitriani

Menjadi wisatawan di suatu daerah, siapa saja bisa. Mengunjungi dan menikmati objek-objek wisata seakan menjadi kebutuhan setelah penat beraktivitas dan kesempatan berkumpul bersama keluarga maupun teman. Ketika program pemerintah Aceh, Visit Aceh 2013 digalakkan, banyak wisatawan lokal, nasional, maupun internasional datang ke Aceh untuk menikmati setiap objek yang disajikan dalam promosi wisata tersebut. Namun jarang sekali ditemui wisatawan yang pintar.  Artinya, wisatawan pintar mau menjaga dan memelihara objek wisata tempat ia kunjungi tanpa merusak atau mengubah sesuatu yang ada di tempat tersebut. Hal ini sering terjadi khususnya pada wisatawan atau pengunjung lokal akibat hasrat ‘keingintahuan’ yang berlebihan.
Sebagai contoh, salah satu lokasi wisata yang terdapat di Kota Banda Aceh yang kini menjadi ikon dan kebanggan masyarakat Aceh, yaitu Museum Tsunami. Museum dengan desain elegan dan unik karya Ridwan Kamil ini, berdiri kokoh dan menjadi bangunan yang mampu ‘mencuri’ pandangan setiap pejalan yang melewati gedung megah ini. Museum yang terletak di Jl. Sultan Iskandar Muda tepatnya di depan Lapangan Blang Padang Banda Aceh, dibangun pada tahun 2007 dan dibuka untuk umum pada tahun 2011 dengan jumlah pengunjung pada awal dibuka mencapai  218.469 orang.

Pada tahun selanjutnya, museum ini terus saja memperoleh peningkatan angka kunjungan yang mencapai 381.887 orang, tak hanya wisatawan lokal yang mengunjungi objek wisata ini, melainkan wisatawan asing, seperti Malaysia, Jepang, Korea, Australia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Spanyol, dan lain-lain. Museum yang dikunjungi tak kurang dari 200 orang per hari, dan 1000 hingga 2000 orang setiap akhir pekannya,  menjadikan museum ini sebagai lokasi wisata yang wajib dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah dan negara. Bahkan pada awal dibuka setelah lebaran Idul Fitri 1434 H (13/8/13) lalu, wisatawan yang berkunjung mencapai 4.184 orang dalam sehari.
Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana menjadi wisatawan pintar? Wisatawan atau pengunjung, atau dalam istilah lain disebut pelancong, adalah orang yang datang ke suatu objek wisata dengan tujuan; pertama, hanya sekedar rekreasi atau menikmati objek wisata yang ada di suatu daerah, dan  kedua, untuk memperoleh pengetahuan (edukasi) tentang objek yang ia kunjungi. Siapa saja yang ingin berekreasi, baik secara personal, bersama teman atau keluarga, hendaknya juga memiliki rasa ‘tanggung-jawab’ terhadap lokasi yang ia kunjungi. Misalnya, menjaga kebersihan lokasi dengan tidak membuang sampah sembarangan, memelihara lokasi wisata dengan tidak mengubah benda-benda yang ada, dan menjaga lokasi atau benda-benda yang ada di tempat wisata agar tetap seperti apa adanya dengan tidak memindahkan, merusak, atau bahkan menghancurkannya.
Sungguh disayangkan bila terlalu banyak wisatawan yang ‘bertangan jahil’ merusak benda-benda bersejarah atau hasil karya seniman yang mungkin harganya tak ternilai seperti yang terdapat di Museum Tsunami Aceh. Banyak karya ‘pajangan’ yang kini sudah tidak lagi seperti bentuk aslinya bahkan ada yang dirusak oleh wisatawan. Foto-foto berikut ini menunjukkan betapa wisatawan lokal memiliki ‘keingintahuan’ yang terlalu berlebihan sehingga mengakibatkan benda-benda yang ada di museum menjadi rusak dengan adanya ‘tangan-tangan jahil’ yang ingin menyentuh, memegang, bahkan mengambil hasil karya yang terpajang di Museum Tsunami Aceh.
Miniatur menara Mesid Raya Baiturrahman di salah satu alat peraga Museum Tsunami yang terdapat di dalam Diorama Bentang Alam Sebelum dan Setelah Tsunami ‘hilang’. Menara ini diambil oleh pengunjung yang berwisata ke Museum Tsunami Aceh.

 
Tiang miniatur Kapal PLTD Apung yang terdapat di Ruang Pamer Tsunami pun turut dirusak oleh pengunjung yang berwisata ke museum.


Bahkan kerusakan yang lebih ‘ekstrim’ terdapat di dalam diorama Situasi Setelah Gempa di Ruang Pamer Tsunami. Miniatur pohon ‘dicopot’ dan ‘dirusak’ oleh wisatawan.

Kerusakan yang terjadi di beberapa alat peraga Museum Tsunami bervariasi, seperti benda yang patah, copot, pecah, atau hancur. Namun selain dirusak secara sengaja oleh wisatawan, terdapat pula benda-benda yang berubah posisi atau berpindah bahkan hilang. Selain benda-benda dalam alat peraga yang menjadi ‘sasaran’ wisatawan nakal, sampah seperti bungkus permen, tisu, kertas, bungkusan makanan, bahkan permen karet pun pernah dibuang ke dalam alat peraga.

Rumah-rumahan dirusak dan dihancurkan oleh wisatawan, sampah dibuang ke dalam alat peraga Museum Tsunami Aceh.


 Orang-orangan di dalam Diorama Kapal di Atas Rumah Lampulo pun dirusak oleh wisatawan.

Kebiasaan untuk menyentuh, memegang, mengambil, atau bahkan sekedar iseng untuk merusak benda-benda hasil karya yang terpajang di Museum Tsunami Aceh dengan alasan ‘sekedar ingin tahu’ bagaimana wujud benda tersebut, bagaimana rasanya bila disentuh, dan sebagainya, cenderung lebih sering dilakukan oleh wisatawan lokal. Namun, kebiasaan ini jarang dilakukan oleh wisatawan manca negara. Para wisatawan asing lebih dapat menghargai karya ataupun benda-benda yang ada di sebuah objek wisata dan lebih peduli untuk ikut menjaga keaslian objek wisata yang ada. Ini yang disebut sikap ‘menghargai’ yang seharusnya ditiru oleh wisatawan lokal Aceh khususnya dan Indonesia pada umumnya. Walau tidak semua pengunjung lokal mempunyai kebiasaan yang sama, akan tetapi dapat dikatakan jumlahya masih sangat sedikit untuk menjadi ‘wisatawan pintar’. Tak hanya benda-benda bersejarah atau karya menjadi aset sebuah objek wisata, kesadaran menjaga kebersihan seperti sampah pun menjadi kebiasaan buruk wisatawan lokal yang berkunjung ke Museum Tsunami Aceh.

Wisatawan asing cenderung  ‘menghargai’ karya, seperti ketika meilhat lukisan di Museum Tsunami Aceh. Wisatawan lokal senang ‘menyentuh’ atau ‘memegang’ lukisan yang terpajang di museum sebagai bentuk ‘keingintahuan’ yang besar. Padahal kebiasaan tersebut dapat merusak karya cipta seniman Aceh yang dipamerkan di Museum Tsunami.

Lalu apakah semua benda-benda yang ada di Museum Tsunami Aceh tidak boleh dipegang ataupun disentuh? Jawabannya, tidak semua benda dilarang untuk disentuh. Di ruang khusus seperti Ruang Geologi dan Ruang Simulasi, terdapat benda-benda edukasi yang  diperbolehkan untuk disentuh atau dipegang, bergantung pada jenis alat peraga. Alat Simulator Evakuasi Tsunami misalnya, alat ini justru disediakan bagi pengunjung untuk dapat berinteraksi secara langsung guna mempelajari simulasi gempa dan tsunami seperti tragedi yang pernah melanda Aceh kurang lebih sembilan tahun silam. Pengunjung dapat menyentuh layar dan memilih sendiri keputusan penyelamatan atau evakuasi seandainya mereka dihadapkan dengan bencana yang serupa, dan memperoleh informasi serta prediksi waktu dan keadaan selama bencana berlangsung.

Simulator Evakuasi Tsunami di Ruang Pamer Geologi dapat digunakan oleh wisatawan sebagai media interaktif dan edukasi.

Begitu pula dengan alat-alat simulasi lainnya yang juga dapat disentuh oleh pengunjung agar dapat memperoleh pembelajaran dari alat peraga yang dipamerkan. Hanya benda-benda dengan peringatan khusus yang tidak dapat disentuh oleh pengunjung dan biasanya tertera di dalam ruangan atau benda-benda tertentu.

Alat peraga di Ruang Simulasi Museum Tsunami dapat diakses oleh wisatwan sebagai media interaktif edukasi.

Namun parahnya, alat-alat yang disediakan bagi pengujung sebagai media interaktif pun menjadi ‘sasaran’ wisatawan nakal. Alat Simulator Evakuasi pernah diotak-atik oleh pengunjung hingga program yang tersedia menjadi error. Harapannya, alat seperti ini dapat memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat sebagai sarana pendidikan kebencanaan, bukan malah menjadi ‘bahan mainan’ bagi wisatawan nakal. Sehingga alat ini dapat terus difungsikan dan digunakan oleh wisatawan lainnya sebagai pembelajaran kesiapsiagaan bencana di masa yang akan datang.
Apa manfaatnya menjadi wisatawan pintar? Menjadi wisatawan pintar berarti secara tidak langsung ikut membantu memelihara dan melestarikan objek wisata atau aset daerah. Menjadi wisatawan pintar artinya juga menjaga harta benda peninggalan atau karya anak bangsa agar tetap dapat dinikmati dan dipamerkan dalam jangka waktu yang lama, bahkan sampai anak cucu atau generasi kita berikutnya. Inilah manfaat kita menjadi wisatawan yang pintar. Bila karya atau benda-benda bersejarah rusak akibat ulah ‘tangan-tangan jahil’ kita, apalagi yang dapat dinikmati oleh generasi  yang akan datang sebagai bentuk pembelajaran bagi mereka melalui media yang ada di Museum Tsunami Aceh sebagai sarana edukasi kebencanaan dan sejarah tragedi maha dahsyat yang pernah melanda Aceh pada tahun 2004 silam yang merenggut lebih kurang 240.000 jiwa.
Memelihara dan menjaga aset daerah ini tidak hanya menjadi tugas pengelola museum Tsunami Aceh, tetapi ini merupakan tugas bersama demi menjaga dan melestarikan objek wisata sejarah dan karya-karya anak bangsa. Mari kita menjadi wisatawan pintar yang tidak hanya saat berkunjung ke Museum Tsunami Aceh tetapi juga saat kita berkunjung ke setiap objek wisata lainnya yang ada di seluruh nusantara!

2 komentar: