Oleh: Nela Vitriani
Temi Sumarlin |
“Assalamualaikum
Mbak Temi” sapaku saat kami saling berhadapan dan bersalaman. Tegur ramahnya
mewarnai perjumpaan singkat kami yang langsung meninggalkan mesjid Raya
Baiturrahman hendak menuju ke Bandara Sultan Iskandar Muda untuk mengantarkan
Temi Sumarlin, atau yang akrab disapa Mbak Temi, kembali menuju ke kediamannya
di Ibukota Jakarta, Jumat siang 13 Juni 2012.
Wawancara
berlangsung saat kami berada di dalam mobil menuju bandara guna memanfaatkan
waktu sembari mengejar jadwal keberangkatan.
“Sampai
di sini saya langsung disuguhi steak ayam, rasanya khas banget dan unik. Bikin pengen kemari lagi dan kembali mencicipi
yang unik-unik seperti mie Aceh, canai dan nasi gurih,” katanya menggambarkan
pengalaman pertamanya berada di Aceh saat mobil bergerak meninggalkan lokasi
mesjid.
Selama
di Aceh, Temi juga sempat mengunjungi beberapa objek wisata yang ada di Kota
Banda Aceh, namun dia masih penasaran dengan keindahan kota Sabang yang belum
sempat dinikmati dalam kunjungan pertama kalinya ini.
“Tempat
yang paling ingin saya kunjungi itu pulau Sabang, kerana saya suka banget dengan tempat wisata pantai, tapi
sayang saya belum sempat berkunjung ke sana,” ujarnya dengan nada pelan.
Mengenai
Kota Banda Aceh yang kini dikenal dengan “Bandar Wisata Islami”, ia menilai
Aceh memiliki sumber daya alam dan manusia yang potensial, untuk itu diharapkan
ke depan Aceh menjadi kota yang jangan terdokrin dengan hal-hal yang terlalu
kapitalis.
“Di
sini sudah luar biasa bagus syariat Islamnya, itu harus dijalankan dengan Islam
yang open minded serta menjadi nanggroe yang sangat terbuka dengan berbagai macam perubahan namun
punya jati diri yang tetap harus dipertahankan,” katanya.
“Jadi
sekarang, apapun gempuran dari luar dan terpaan seperti hadirnya media yang
terus berkembang, tapi masyarakat Aceh tetap punya benteng yang kuat. Karena
mereka punya prinsip bahwa Aceh ini tidak cuma slogan aja Serambi Mekkah, namun
juga mengakar pada individu orang-orang Aceh untuk tetap mempertahankan budaya
keislamannya, itu sangat saya kagumi,” tambah sang desainer.
Temi
Sumarlin juga memiliki kesan paling membekas selama berada di Aceh. Menurutnya
Kota Banda Aceh merupakan kota yang berprinsip, dari dulu sampai sekarang tidak
pernah berubah seperti polisi syariatnya tetap ada dan membantu penegakan hukum
Islam.
“Sekarang
yang dibutuhkan cuma membenahi kemasannya, jangan sampai orang-orang pakai
jilbab karena terpaksa, tapi memang atas kesadaran kalau itu memang kewajiban.
Perlu juga sosialisasi lebih dalam sehingga menggunakan kerudung tidak dianggap
sebagai hal yang mengerikan, melainkan menjadikan kita lebih cantik,” tandasnya
sembari menyambungkan “kulinernya juga enak, seperti roti dan seafood, tapi
panasnya ini ngak tahan”, katanya
lebih lanjut sambil tertawa ringan.
Fashion dan Muslimah Aceh
Selama tiga hari kedatangannya di Aceh, Temi mengikuti sejumlah kegiatan, di antaranya hijab class, juri potroe
bungong, dan juri dalam fashion show dengn
busana ready to wear.
Ketika ditanya mengenai kategori penjurian dalam event
Putroe Bungong, Temi menilai kegiatan tersebut sangat bagus dan sangat menarik,
karena turut mengangkat heritage Aceh
degan rangakaian warna baju, tema dan lainnya.
“Semuanya sudah bagus, cuma kemarin saya juga sempat ngobrol dengan juri lainnya, mungkin next event ada baiknya setiap peserta
harus lebih cerdas dalam memilih material apa yang dipakai pada setiap peserta.
Meraka juga harus jeli memilih sepatu dan pakaian yang nyaman seperti apa,”
ujarnya.
Wanita yang saban harinya mengenakan kerudung itu juga menyambut
gembira tingginya antusias masyarakat Aceh untuk ikut serta dalam kegiatan hijab class.
“Ternyata antusiasmenya cukup bagus dari putroe-putroe Aceh, banyak juga yang ikut serta. Artinya ketika di
kelas mereka banyak nanya dan sharing mengenai cara memakai jilbab yang
menarik, karena selama ini mereka hanya pake jilbab seadanya, ya.. jilbab
segitiga dan belum berani untuk memodifikasi dengan gaya-gaya yang baru,”
katanya dengan tersenyum.
Mengenai perkembangan desain terbaru darinya, Temi menyebutkan,
yang terbaru saat ini bertemakan Play
Ground. Tema ini lebih kepada material.
“Jadi kalau dulu lebih kepada warna pastel, maka sekarang karakter
saya lebih banyak ke warna-warna yang cenderung dominan warna, seperti hitam,
abu-abu, warna-warna earth, dan tanah,” tambahnya.
Untuk pengembangan modeling dunia muslimah khususnya di Aceh yang
menerapkan Syariat Islam, dia berharap kegiatan seperti ini terus dilakukan
setiap tahunnya, karena dinilai sebagai salah satu bentuk lain untuk campaign Visit Aceh 2013. Serta manjadi
ajang pembuktian jika putroe-putroe Aceh selama ini memang care sama heritagenya.
“Nanti kontennya juga bisa bertambah, selain mereka membawakan
peninggalan-peninggalan dari budaya Aceh, juga mungkin akan ada kelas-kelas
lain. Misalnya kelas public speaking
atau broadcasting yang nantinya bisa
mengisi kemampuan meraka secara informal, pokoknya intinya harus ada terus
lah,” tegasnya kembali yang diiringi dengan senyuman yang memperlihatkan
keakraban.
Saat mengakhiri wawancara, desainer Mbak Temi juga sempat membagi ceritanya membawa kopi Aceh dan bordiran
khas aceh sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke
Jakarta, dan harapannya suatu
saat nanti ia dapat kembali ke Aceh dan membeli kain songket Aceh yang sempat
menarik perhatian dan minatnya akan kain khas Aceh tersebut saat menghadiri
acara Putroe Bungong di Museum Tsunami lalu.
“Saya sempat tertarik banget dengan kain-kain yang
dipakai para peserta, unik-unik dan bagus banget motifnya. Jadi kepingin deh
untuk melihat langsung tempat pembuatannya dan membeli kain itu. Sepertinya
bagus kalau dikombinasikan dengann desain saya” ungkapnya penuh harap. (Nelvie)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar