Oleh: Nela Vitriani
Hari ini aku mendapatkan ilmu dari semut-semut. Sebuah pengalaman yang
mungkin bagi kebanyakan orang tidak terlalu penting. Makhluk kecil mungil ini
mengantarkan pikiranku akan analisis rejeki yang telah Allah swt. gariskan dan
Allah swt. tetapkan bagi seluruh makhluk di bumi ini. Subhanallah…
Di suatu pagi yang mendung, perutku terasa lapar. Aku ingat ada sebungkus
roti yang kusimpan di dalam tas ranselku. Sudah setengah hari aku melupakan si
roti, berhubung sibuk terus dengan kegiatannku. Akibatnya, si roti sedikit
mengalami ‘kejamuran’ (itu cuma bahasa plesetanku aja ya hehe. Artinya dalam
roti terdapat sedikit jamur akibat sudah beberapa hari dibiarkan. Itu karena
roti bukan jenis makanan yang tahan lama-red). Karena jamurnya masih sangat
sedikit, jadi tak masalahlah utk aku buang serpihan-serpihan jamur itu dan
rotinya masih layak untuk dimakan. Aku membuang serpihan roti ke luar jendela.
Dan tak lama kemudian, satu persatu semut berdatangan mendekati
serpihan-serpihan roti yang kubuang tadi. Padahal sebelumnya tak satu pun semut
yang kelihatan di sekitar jendela kamarku.
Lama aku memperhatikan semut-semut itu. Ada yang hanya sekedar jalan berlalu tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Ada yang langsung mendekati serpihan yang besar dan langsung ‘mencicipi’ roti itu. Ada juga semut yang kebetulan langsung mendapatkan serpihan kecil, kemudian langsung juga dibawa pulang. Tahukah apa yang aku pikirkan? Bahwa Allah swt. MEMANG SUDAH MENGATUR REJEKI UNTUK SETIAP MAKHLUK. Hanya saja BAGAIMANA CARA ‘MAKHLUK’ ITU MENEMUKAN REJEKINYA. Apakah ia dapat langsung menemukan rejeki yang besar? Atau menemukan rejeki yang jumlahnya kecil? Atau justru kita hanya melewati rejeki itu tanpa kita sadari dan kita tidak memperoleh apa pun? Marilah kita belajar dari semut-semut ini.
Hari yang mendung kini berganti hujan. Aku terus saja memperhatikan tingkah
sang semut-semut kecil. Allah swt. tidaklah sengaja membuat rotiku berjamur,
kemudian tidaklah mungkin secara kebetulan juga Allah swt. meletakkan serpihan-serpihan
roti itu berada di luar jendela kamarku, sehingga ketika semut-semut itu ‘berusaha
mencari rejekinya’, mereka dapat menemukan tempatnya. Namun, ‘siapa’ yang
menemukan rejeki-‘nya (besar, kecil, atau tidak dapat sama sekali)? Itu semua
bergantung kepada USAHA YANG DIA LAKUKAN. Semut pertama sama sekali tidak menoleh
ke kiri atau ke kanan, ia berjalan lurus sehingga tidak menemukan letak makanan
(-walau sebenarnya semut dikaruniai oleh Allah swt. pendeteksi makanan dalam
tubuhnya-red), tapi mungkin belum ia gunakan secara maksimal. Semut kedua
berhenti sejenak dan menoleh ke arah kanan, maka ia menemukan makanan dengan
serpihan yang besar. Sedangkan semut ketiga, ia berjalan tidak mengikuti
temannya dan memutar ke arah kiri, maka ia menemukan serpihan yang kecil, yang
tidak memberatkan tubuhnya sehingga ia bisa langsung membawanya pulang. Nah,
apa yang bisa kita pelajari dari sini?
Kita sering bertanya-tanya kenapa rejeki kita masih juga belum datang? Atau
terkadang kita sering membanding-bandingkan rejeki yang didapat oleh orang lain
yang biasanya lebih banyak dari rejeki yang kita punya. Dan banyak pula orang
berpendapat, “mungkin usahanya kurang”. Bisa jadi pernyataan ini benar.
Yang perlu diyakinkan dalam diri kita adalah ALLAH SWT. SUDAH MENYEDIAKAN DAN MELETAKKAN REJEKI KITA DI SATU ‘TEMPAT’ YANG KITA BELUM TAU DIMANA LETAKKANYA. ‘Tempat’ yang dimaksud dapat kita temukan melalui ‘Usaha’ yang berupa ‘kemampuan, keahlian, kemauan, tekad, dan lokasi’. Yang dimaksud dengan ‘tempat’ bisa berupa lokasi dimana kita berada. Ketika kita berada di satu kota, mencari kerja kesana-kemari tapi tak kunjung dapat, sudah memasukkan lamaran dan berkas-berkas ke berbagai perusahaan di kota tempat kita menetap tapi malah hasilnya nihil, bisa jadi Allah swt. meletakkan rejeki kita di kota/daerah lain. Ketika kita diterima di satu perusahaan yang justru menugaskan kita ke daerah lain, biasanya kita akan mempertimbangkan banyak hal, misalnya daerah tersebut merupakan perkampungan yang tidak mempunyai banyak fasilitas yang biasa mudah kita dapat di tempat kita tinggal, atau jarak yang terlalu jauh, dsb. Tapi kita tak pernah tau bisa jadi Allah swt. meletakkan rejeki yang besar untuk kita justru di daerah tersebut. Contohnya ketika semut pertama berjalan lurus, ia tidak menemukan apa-apa, padahal kalau saja ia berbelok ke kanan atau ke kiri, ia akan dapat menemukan serpihan-serpihan roti, baik yang besar ataupun yang kecil.
‘Tempat ‘ yang dimaksud bisa juga berupa ‘keahlian atau kemampuan’. Kita mempunyai
keahlian tertentu yang Allah swt. anugerahkan untuk kita, tapi malah kita
sia-siakan hanya karena mendengar ‘kata orang’ (misalnya “untuk apa sih jadi bla…bla…bla, nanti kamu malah begini,
begitu, begini….), atau terlalu mengutamakan ‘gengsi’ (seperti “Ah, malu ah
kerja sebagai ….ini, nanti dilihat orang gimana? Ah, kerja sebagai …..ini kan
dipandang orang rendah” bla…bla..bla…dan
seterusnya), padahal bisa jadi ‘letak’ rejeki yang besar kita ada di sana. Contoh
kecil saja, banyak orang yang malu menjadi seorang kuli bangunan, pekerjaan
yang tidak bergengsi, berat, dan melelahkan, bahkan direndahkan orang. Padahal pekerjaan
tersebut halal kan? Bila anda ditawarkan 2 pekerjaan dengan pendapatan yang
berbeda, mana yang akan anda pilih? Menjadi kuli bangunan dengan bayaran Rp.3
juta/bulan karena sedang ada proyek besar-besaran, atau menjadi staff di sebuah
perusahaan ternama dan besar, tapi Anda hanya digaji Rp.800.000/bulan. Mana
yang akan anda pilih? Masihkah menurut gengsi? Anda sendiri yang tau jawabannya!
‘Tempat’ yang dimaksud juga bisa bermakna ‘tekad’. Ketika kesempatan untuk
memperoleh rejeki itu datang, sesuai dengan minat dan kemampuan kita, tanpa ada
kemauan dan tekad yang kuat sama saja rejeki yang seharusnya kita dapatkan
dengan jumlah yang besar, tapi justru hanya mampu kita dapatkan yang kecil
saja. Contoh si semut yang mendapatkan serpihan roti yang besar, namun karena
tidak seimbang dengan berat tubuhnya maka ia harus memotongnya menjadi serpihan
yang kecil agar bisa dibawa pulang. Atau memanggil teman-teman lainnya untuk
bergotong royong membawanya bersama. Tapi justru dengan tekadnya yang kuat,
seberat apa pun beban yang ia pikul, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk
menggeser serpihan besar roti itu walau sebenarnya menurut logika sangat
mustahil untuk dibawa sendirian. Nyatanya, dengan tekad si semut itu, serpihan
roti yang besar bisa digerakan walau hanya beberapa millimeter saja.
Masih banyak hal yang bisa kita petik pelajaran berharga dari setiap
makhluk yang Allah swt. ciptakan. Tak perlu kita membanding-bandingkan rejeki
yang di dapat oleh orang lain dengan rejeki yang kita punya. Terkadang kita
merasa ‘takut’ untuk memulai dan mencoba sesuatu yang baru. Ketika kita sudah
bekerja di satu tempat dengan gaji kecil, kita hanya bisa menerima ‘pasrah’
dengan rejeki kita itu. Padahal bisa jadi, ketika kita mau mencoba melamar
perkerjaan di tempat lain, atau membuka usaha sendiri, justru pendapatan yang
akan kita peroleh akan lebih besar daripada di tempat kerja kita sebelumnya. Ketakutan
yang ada dalam benak kita bisanya “Takut kalau nanti keluar dari perusahaan
ini, gajinya lebih kecil”, atau “Takut nanti kalau berhenti dari pekerjaan ini,
bisa-bisa gak dapat kerjaan lagi” dan seterusnya. Yang perlu diyakinkan, Allah
swt. sudah memberikan ‘jatah’ rejeki bagi masing-masing individu, hanya ‘kemana
dan bagaimana’ cara kita menemukan rejeki kita itu. Kalau kita tidak berani
untuk memulai, bagaimana kita dapat mengetahui perubahan untuk hidup kita
sendiri? “Takut gagal? Itu adalah resiko. Artinya, itu bukan jalan atau tempat rejeki
kita, maka carilah jalan atau tempat yang lain.” Begitulah yang kira-kira bisa
kuambil intisari kutipan dari seorang motivator yang tengah digandrungi masyarakat
Indonesia, Mario Teguh.
Selain takut gagal, takut juga pekerjaan yang kita geluti dicemooh orang?
Pekerjaan yang tidak bergengsi? Atau takut direndahkan orang? Sadarlah dan
lihatlah, apakah orang yang mencemooh atau merendahkan itu sudah terjamin
rejekinya dapat yang besar? Atau lebih besar mana rejeki yang kita dapat dari
kerjaan yang tidak bergengsi itu dengan rejeki orang yang merendahkan tersebut?
Apakah sudah ada jaminan baginya dikemudian hari ia akan menjadi orang kaya? Atau
malah justru dengan pekerjaan yang tidak bergengsi kita itu yang malah membawa
kita menjadi orang yang berkecukupan, atau malah lebih? Baiknya merubah pola pikir
kita akan kalimat ‘merendahkan orang lain’ dari pekerjaan yang ia usahakan,
kecuali bila ia bekerja dengan pekerjaan yang tidak halal, barulah tugas kita ‘mengingatkan’.
Jadi bedakan ya antara ‘merendahkan’ gara-gara kerjaannya tidak bergengsi,
dengan ‘mengingatkan’ bahwa pekerjaan itu tidak baik menurut agama. Jelas banget
bedanya kan?
Semoga apa yang tertulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Ini hanya
analisis pribadi saya mengenai rejeki yang saya peroleh dari semut. Insyaallah
mudah-mudahan tulisan ini juga menjadi motivasi dan nasehat bagi saya pribadi
sebagai penulis. Dan semoga bagi yang membaca dimudahkan rejekinya oleh Allah
swt. dan menemukan ‘tempat’ rejeki-nya masing-masing, bila perlu menemukan ‘tempat’
rejeki yang paling besar seperti semut yang berbelok ke arah kanan. Mudah-mudahan
usaha kita merupakan usaha yang baik dan halal, yang dapat membawa berkah bagi
kehidupan kita kelak. Aamin yaa Rabbal’alamin. Wallahu’alam. Salam hangat untuk
semua pembaca...
(Tulisan ini telah dimuat di majalah POTRET edisi 60 hal. 24-25)
luar biasa pembahasannya.
BalasHapusmeunyoe kheun ureung aceh 'tapak jak aki menari, na tajak na raseuki'
Terimong geunaseh..
HapusMoga bermanfaat :-)
hmmmm,,,,,mencerahkan,,,,bernas yah,, :)
BalasHapusAmin... mudah2an bermanfaat :)
Hapus