Djandji
Tuhan Rabbul A’la.
Neubloe Hamba Ba’Prang Sabi
Njankeu Keujum Neubri Keugata
Pat Na Tjidra Peuneujueuet Rabbi
Wahe Teungku Uleebalang
Njan Buloeeng Prang Tuhan Neubri
Dijup Langet di Atueh Bumoe
Lam Allah Njoe Tan Na Sabe
Neubloe Hamba Ba’Prang Sabi
Njankeu Keujum Neubri Keugata
Pat Na Tjidra Peuneujueuet Rabbi
Wahe Teungku Uleebalang
Njan Buloeeng Prang Tuhan Neubri
Dijup Langet di Atueh Bumoe
Lam Allah Njoe Tan Na Sabe
Sebait kata hikayat prang sabi yang melukiskan semangat perjuangan dan
keikhlasan para pejuang terdahulu dalam menumpas penjajah, meski harus
merelakan nyawa mereka. itulah grafiti yang menggores dinding sebelah kiri
makam pejuang kemerdekaan sekaligus tokoh Srikandi Indonesia yang sangat
dikagumi.
Cut Nyak Dhien adalah sosok pahlawan nasional asal Aceh yang lahir pada tahun
1848. Suami pertamanya adalah Teuku Ibrahim dari Lamnga Aceh Besar dan
dikaruniai seorang putri bernama Cut Gambang yang meninggal bersama suaminya
ditembak oleh Belanda. Kemudian Cut NYak Dhien menikah dengan panglima perang
bernama Teuku Umar Johan Pahlawan yang juga tokoh panglima perang Aceh yang
sangat dikagumi.
Pada 11 Februari 1899 Teuku Umar menghembuskan nafas terakhir setelah tertembak
Belanda dalam peperangan sengit. Cut Nyak Dhien pun meneruskan kepemimpinan
suaminya memerangi Belanda. Namun Cut Nyak Dhien akhirnya ditangkap Belanda
pada 6 Nopember 1905. Kemudian guna meredam semangat perang orang Aceh, 11
Desember 1906 oleh penjajah beliau diasingkan ke Sumedang bersama seorang
panglima perang dan seorang anak laki-laki berusia 15 tahun bernama Teuku Nana.
Di sanalah Cut Nyak Dhien wafat dan dimakamkan pada 6 Nopember 1908.
Makam wanita Aceh yang ternyata tidak hanya dikagumi di daerahnya, tapi juga
menjadi panutan masyarakat Sunda itu ternyata tertata dengan sangat rapi dan bersih.
Bahkan makam tersebut berada di antara makam para tokoh-tokoh Sumedang yang
juga menjadi keluarga Cut Nyak Dhien selama diasingkan Belanda ke pulau Jawa.
Itulah kesan pertama yang saya dan beberepa teman dari Universitas Islam
Bandung (Unisba) lihat saat menginjakkan kaki dan memasuki area pemakaman Cut
Nyak Dhien yang terletak di komplek Makam Keluarga Gunung Puyuh Yayasan
Pangeran Sumedang.
emuanya bermula dari keinginan saya sebagai orang Aceh untuk bisa berziarah ke
makam leluhur. Itu saya sampaikan ke salah seorang dosen Unisba, Doddy Iskan.
Usai membantu memberikan kuliah tambahan kepada mahasiswa Jurnalistik di sana.
Ternyata semuanya bak gayung bersambut. Doddy pun mengajak saya untuk
memanfaatkan keinginan tersebut dengan membawa beberapa mahasiswanya melakukan
praktek liputan feature dan fotografi. Karena selain dikenal sebagai kota
budaya, Sumedang juga dikenal dengan nuansa alamnya yang eksotis dan selalu
menarik pengunjung untuk mengabadikan keindahannya.
Setelah melampaui perjalanan selama satu setengah jam dari pusat Kota Bandung,
akhirnya kami tiba di lokasi tujuan. Ternyata apa yang selama ini saya
bayangkan jauh berbeda dari apa yang saya lihat. Kalau biasanya komplek
perkuburan itu terkesan seram dan sepi, tapi tidak dengan ini. Rimbunnya
dedaunan, pohon yang menjulang tinggi ke langit dan beberapa wanita paruh baya
yang membersihkan area tersebut menjadikan saya merasa sangat nyaman berada di
sini.
Senyuman dan sapaan pun tak luput dari bibir wanita-wanita tegar tersebut saat
kami masuk ke area pemakaman. Karena diantara kami tidak ada yang tahu di mana
letak makam Cut Nyak Dhien, saya bersama Doddy memberanikan diri menanyakan ke
pos pondok penjaga makam.
“Lurus saja ke depan dan nanti ada turunan, terus ada foto dan tulisan Makam
Pahlawan Nasional Njut Nya’ Dhien, di situlah kompleknya”, ucap bapak yang
mediami pondok itu kepada kami.
“Di sana juga ada pengurus makam, jadi kalau mau tanya-tanya tentang riwayat
makan juga bisa”, tambah pria tersebut dengan nada dan senyuman yang
bersahabat.
Usai mengucapkan terimakasih. Saya, Dody dan beberapa mahasiswa melanjutkan
langkah menuju makam istri Teuku Umar tersebut.
Saat memasuki area makam yang pagarnya terpisah dengan komplek utama, terlihat
sejumlah lampu taman yang mengelilingi makam yang dibangun dari batu marmer dan
dilindungi oleh bangunan nuansa rumah adat Aceh dari kayu-kayu pilihan yang
didatangkan dari Aceh guna menjaga kekhasan makam.
“Assalamu’alaikum. Silahkan masuk”
Sapaan ramah disertai salam dari seorang laki-laki paruh baya ternyata
menyambut kedatangan kami. Dia juga langsung menyalami rombongan yang
mencirikan keramahan pria berkumis itu.
“Selamat datang di makam Cut Nyak Dhien, saya Dadan penjaga makan ini”, ujarnya
seraya mengenalkan diri kepada kami.
Dia juga menyampaikan jika ada yang ditanyai mengenai Cut Nyak, Ia bersedia
menceritakannya dengan sebaik mungkin guna menumbuhkan rasa kecintaan anak
bangsa terhadap para pahlawan negeri ini.
Kemudian saya pun mengenalkan diri, dilanjutkan Dody dan bersama beberapa
mahasiswa dari Unisba serta menyampaikan tujuan kedatangan untuk berziarah dan
mengenal lebih jauh ketokohan Cut Nyak Dhien.
Ketika saya katakan berasal dari Aceh dan ini merupakan kunjungan pertama ke
makam leluhur, ternyata itu membuat pak Dadang menjadi sangat gembira dan
semakin akrab dengan menunjukkan beberapa simbol-simbol jika makam Cut Nyak
Dhien sejak dulu tidak luput dari kunjungan para tokoh-tokoh Aceh.
“Makam ini tidak pernah sepi dari pengunjung terutama orang-orang dari Aceh
seperti para anggota dewan dan pejabat, di antaranya bapak Gubernur Irwandi
beberapa waktu lalu,” kata lelaki bernama lengkap Rd. Dadan R. Kusumah (65).
Selain itu, di pintu masuk bagian dalam juga terdapat batu peresmian
pembangunan meunasah dan pemugaran makam pahlawan nasional Cut Nyak Dhien yang
ditandatangani Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada 7 Desember 1987.
Rumah panggung bercorak putih dan coklat yang merupakan meunasah yang berdiri
kokoh menggunakan kayu dan ukiran khas Aceh serta dikelilingi lantai dasar yang
menggunakan keramik putih terlihat jelas di belakang komplek makam.
“Meunasah ini sering digunakan masyarakat Aceh yang berkunjung untuk
beristirahat, shalat dan ada juga yang menggunakannya untuk tempat khenduri,
seperti khenduri dengan mengundang anak-anak yatim yang ada di lingkungan
komplek makam,” kata lelaki berbaju dan celana panjang berwarna hijau serta
peci bulat hijau bergaris putih itu.
Ketika ditanyai peran dan pandangan Cut Nyak Dhien bagi masyarakat Sumedang.
Dadang menjelaskan jika Cut Nyak Dhien bagi masyarakat daerah tersebut bukan
hanya dipandang sebagai pahlawan nasional, tapi juga tokoh agama Islam bagi
meraka.
“Cut Nyak mengajarkan banyak ilmu agama kepada orang-orang Sumedang. Bahkan
banyak tokoh-tokoh seperti mantan Bupati, anggota DPRD yang orang tua mereka
dahulunya belajar agama dan ngaji dari Cut Nyak Dhien”, tambah pria yang murah
semyum itu.
Pada saat Cut Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang dan diterima oleh Gubenur
Jenderak Belanda J.B.V Heuts. Oleh Pangeran Aria Suriaatmaja yang dijuluki
Pangeran Mekah yang juga menjabat sebagai bupati setempat menyerahkan perawatan
Cut Nyak Dhien pada Ulama Masjid Agung Sumedang bernama K.H. Sanusi.
Namun dikarenakan saat ini rumah K.H Sanusi sedang diperbaiki, maka selama
lebih kurang tiga minggu Cut Nyak Dhien dititipkan di rumah H. Ilyas. Kemudian
kembali dirawat oleh K.H sanusi dan diteruskan oleh anaknya bernama H. Husna
hingga akhir hayat Cut Nyak Dhien. Karena kedekatan Cut Nyak Dhien dengan
keluarga tersebut dan sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga, sehingga
beliau dimakamkan di makam keluarga H. Husna di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya,
Kecamatan Sumedang Selatan.
Selama diasingkan di Sumedang, meskipun saat itu Cut Nyak Dhien tidak bisa
melihat, namun beliau tetap memberikan pelajaran mengaji, khususnya untuk para
ibu-ibu di daerah itu. Beliau pun mendapat julukan Ibu Perbu atau Ibu Ratu atau
masyarakat Sumedang memanggilnya Ibu Suci.
“Sebelumnya, masyarakat tidak ada yang mengetahui itu makam pahlawan nasional
Cut Nyak Dhien, tapi mereka hanya mengenalnya sebagai makam Ibu Perbu. Dan baru
diketahui pada tahun 1948 setelah H. Husna meninggal”, jelas Dadan.
Dalam hal komunikasi dengan masyarakat setempat, Cut Nyak Dhien hanya
menggunakan bahasa Arab, karena beliau tidak bisa bahasa Sunda. Hal ini lah
yang menjadikan Cut Nyak Dhien sangat dekat dengan anak H. Husna bernama Siti
Hodijah yang membantu menterjemahkannya ke dalam bahasa Sunda.
Rumah bekas tempat tinggal Cut Nyak Dhien berukuran 12x14 meter dan tinggi 1
meter. Kamar tidur berukuran 3x5 meter serta panjangnya 2x2 meter. Dan rumah
itu dibangun seperti halnya rumah adat Aceh.
“Inilah yang sekarang direncanakan untuk dibangun kembali di area dekat makam
guna mengenang kapada kita bagaimana bentuk rumah Cut Nyak Dhien ketika tinggal
di Sumedang,” ujar Dadan.
Dia juga menambahkan, dalam beberapa bulan ke depan direncanakan Wakil Gubernur
Aceh Muhammad Nazar direncanakan akan berkunjung ke Sumedang untuk membicarakan
pembangunan rumah peninggalan Cut Nyak Dhien di dekat makam.
“Yang mengetahui bentuk rumah yang sebenarnya saat ini hanya saya, sebagai ahli
waris orang yang merawat Cut Nyak Dhien,” jelas cucu Siti Hodijah itu.
Kedekatan Cut Nyak Dhien dengan keluarga K. H. Sanusi juga terlihat jelas
hingga sekarang. Makam pahlawan nasional itu berada diantara makam-makam
keluarga yang merawat dan menjaga tokoh kebanggaan orang Aceh tersebut.
Ketika ditanyai apakah ada honor atau gaji khusus dari pemerintah Sumedang
maupun Aceh kepada dirinya sebagai penjaga makam. Dadan mengatakan jika selama
ini tidak ada yang menggajinya melainkan dia hanya mendapat dari sumbangan para
pengunjung.
Selain untuk keperluan makam uang sumbangan tersebut juga digunakan untuk
menggaji dua orang yang turut membantunya merawat makam, bapak Ace Sambas dan
ibu Kokom yang juga pasangan suami-istri.
“Pekerjaan ini hanya berlandaskan keikhlasan untuk menjaga makam leluhur yang
telah berjasa membela negara dan agama Allah serta sebagai wujud kepedulian
pada sejarah bangsa ini,” katanya dengan tegas.
Dia juga berpesan kepada Pemerintah Aceh untuk memberikan perhatian yang lebih
kepada situs-situs sejarah tokoh-tokoh pejuang serambI Mekkah yang kini berada
di luar Aceh.
“Saya berharap Pemerintah Aceh bisa lebih memperhatikan makam Cut Nyak Dhien
dan orang-orang yang menjaganya, seperti mengikutsertakan para ahli waris
penjaga makam dalam pemugaran komplek makam yang lebih baik dan menarik
pengunjung lebih banyak,” ujar lelaki paruh baya itu dengan penuh harap.
“Saya juga akan bersedia jika Bapak Irwandi mengundang saya ke Aceh untuk
menyampaikan seluk-beluk sejarah Cut Nyak Dhien di Sumedang, sehingga nantinya
kebenaran sejarah tokoh Aceh yang dimakamkan di tanah Sunda itu akan tetap
terjaga,” tambahnya.
Setelah hampir satu jam berziarah ke makam leluhur bangsa. Saya bersama Doddy
dan mahasiswa pun pamit kepada Pak Dadan sebagai juru kunci makan untuk
melanjutkan perjalanan.
Tujuan kami selanjutnya adalah Museum Geusan Ulun yang berada di Komplek
perkantoran Pemerintah Kabupaten Sumedang. Setelah menempuh perjalanan selama
15 menit kami pun tiba di museum tersebut. Di sana kami melihat sejumlah
situs-situs peninggalan daerah tersebut seperti foto-foto para Bupati Sumedang
terdahulu dan alat-alat kesenian daerah.
Ketika memasuki ruang belakang museum ternyata di sana terdapat beberapa
lukisan dan foto-foto Cut Nyak Dhien, termasuk foto Cut Nyak Dhien sedang duduk
di teras rumah tempat tinggalnya di Sumedang.
Selain itu juga ada beberapa baju-baju dan selendang peninggalan Cut Nyak Dhien
yang tersimpan rapi di dalam lemari museum peninggalan tokoh-tokoh masyarakat
Sumedang itu.
“Cut Nyak Dhien sudah menjadi bagian dari masyarakat di sini, makanya di museum
juga tersimpan barang-barang peninggalan beliau,” kata Doddy kepada saya ketika
saya menunjukkan apa yang baru saya lihat kepadanya.
Hal yang sama juga diungkapkan Kang Pupung, seniman kesenian tradisonal
tarawangsa beberapabulan yang saya temui di desa Rancakalong Sumudeang.
Menurutnya makam Cut Nyak Dhien merupakan simbol kedekatan masyarakat Sumedang
dengan masyarakat Aceh.
“Sejak dulu bila bertemu dengan orang yang berasal dari Aceh, orang Sumudang
langsung menerima mereka layaknya saudara. Seperi halnya Cut Nyak Dhien saat
datang dan menetap di Sumedang,” katanya.
Setelah mengunjungi museum dan makan siang bersama. Saya bersama teman-teman
kembali ke Kota Kembang Bandung dengan menyimpan banyak pesona kekaguman pada
sosok kepahlawanan Cut Nyak Dhien yang ternyata tidak hanya dikagumi dan
diangungkan oleh masyarakat Aceh, tapi juga menjadi panutan bagi masyarakat
Sumedang Jawa Barat hingga dijuluki sebagai “Ibu Perbu”.
(Ditulis Oleh Fachrur
Rizha, sesama alumni Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry. Tulisan ini telah
Dipublikasi di Media Harian Aceh Rubrik Fokus Edisi 24 Agustus 2010 dan Meraih
Juara I Lomba Menulis Sejarah Aceh pada Oktober 2010, dikutip dari: Acun Online blogspot)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar